Masyarakat Jawa, sebagaimana masyarakat suku lainnya, memiliki tata
cara kehidupan dan budaya yang khas. Akan lebih tepat bagi para aktivis
dakwah yang melakukan kegiatan dakwah untuk masyarakat Jawa, apabila
mengetahui berbagai budaya yang mereka miliki. Ajaran hidup dan budaya
masyarakat Jawa, sudah banyak diungkapkan dalam bentuk pitutur luhur
atau pepatah dan kalimat hikmah.
Pada kesempatan kali ini, kita
mencoba mempelajari satu pitutur luhur yang menggambarkan watak
rata-rata masyarakat Jawa. Pitutur itu berbunyi, “Yen Agal Ngungkuli Watu Yen Alus Ngungkuli Banyu”. Makna Pitutur Pepatah di atas secara harfiah bermakna, apabila keras (kasar) melebihi batu dan apabila halus (lembut) melebihi air.
Secara
spesifik sebenarnya pepatah ini mengacu atau diacukan pada perwatakan
umum para kesatria Pendawa yang dalam konteks tertentu sering
diibaratkan sebagai perwatakan orang Jawa. Secara umum, para kesatria
Pendawa jika keluar watak keras atau kasarnya akan bisa menjadi sangat
keras seperti batu atau bahkan kasar melebihi apa pun. Demikian pula
jika keluar watak lembut atau halusnya, bisa sangat halus melebihi air.
Sikap itu dipengaruhi oleh stimulan atau faktor-faktor luar yang
menyebabkannya menjadi demikian.
Dicontohkan bahwa apabila para
kesatria Pendawa diperlakukan dengan lembut, maka ia akan membalas
perlakuan tersebut jauh lebih lembut lagi. Akan tetapi bila diperlakukan
dengan kasar atau jahat, ia akan bisa membalas dengan lebih kasar atau
jahat lagi.
Pepatah ini secara umum sebenarnya ingin menggambarkan
dua sisi sifat manusia yang saling bertolak belakang. Manusia itu jika
keluar sifat kasar, keras, amarah, nafsu angkara murkanya bisa sangat
kasar atau sangat keras. Namun bila yang keluar adalah sifat atau watak
halusnya, maka kehalusannya bisa melebihi halus atau lembutnya air.
Pelajaran Fiqih Dakwah
Memahami
pitutur luhur di atas, kita diajak memahami sifat umum masyarakat Jawa
dalam berinteraksi. Secara umum, masyarakat Jawa itu apabila disikapi
dengan santun, halus, dan lembut, akan bisa bersikap yang jauh lebih
santun, halus dan lembut kepada kita. Namun apabila mendapatkan
perlakuan keras, kasar dan arogan, maka akan bisa membalas dengan
perlakuan yang lebih keras, lebih kasar dan lebih arogan.
Hal ini memberikan pelajaran penting kepada kita beberapa hal berikut:
1. Hendaknya mampu menempatkan diri secara tepat dalam interaksi dengan masyarakat
Dalam
dakwah, yang kita inginkan adalah sebanyak mungkin kalangan masyarakat
yang mendapatkan pencerahan dari dakwah yang kita lakukan. Oleh karena
itu sangat penting untuk memiliki sikap yang tepat dalam berinteraksi
dengan masyarakat agar mereka tidak antipati dan memusuhi dakwah.
Kadang
dakwah ditolak oleh masyarakat, bukan oleh karena isi atau content dari
dakwah yang disampaikan, tetapi dari cara penyampaian dakwah yang tidak
tepat. Oleh karena itu, memposisikan diri dengan tepat ketika melakukan
pendekatan dakwah, sangat diperlukan oleh setiap aktivis. Kemampuan
untuk menempatkan diri dengan tepat itu menjadi salah satu syarat
keberhasilan dakwah.
Kita mengetahui di Indonesia sangat banyak
ragam budaya dan corak etnik. Masing-masing etnik memiliki corak yang
khas, berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak bisa disamaratakan dalam
melakukan pendekatan dakwah antara satu suku dengan suku lainnya.
Tradisi kehidupan sudah berlangsung dalam waktu lama dan turun temurun,
sangat sulit untuk mengubah kebiasaan yang sudah membudaya dan berurat
berakar dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu, melakukan dakwah
kepada masyarakat Jawa –yang merupakan suku terbesar di Indonesia—harus
disertai pemahaman tentang budaya dan tatacara kehidupan masyarakatnya.
Hal ini dimaksudkan agar dakwah bisa diterima secara lebih tepat dan
tidak ada penolakan yang muncul karena cara pendekatan yang tidak tepat.
2. Hendaknya bersikap santun dan lembut dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat
Jawa –sebagaimana pitutur di atas—memiliki watak yang lembut apabila
didekati dengan cara yang lembut. Oleh karena itu, para aktivis dakwah
yang melakukan dakwah di kalangan masyarakat Jawa, harus mampu
menyesuaikan diri dengan pendekatan yang halus, sopan dan lembut.
Kehalusan pendekatan ini sesungguhnya telah menjadi perintah Al Qur’an:
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu” (Ali Imran: 159).
Artinya, kelembutan dalam
dakwah sesungguhnya sudah menjadi salah satu karakter yang dituntunkan
Al Qur’an. Bukan sekadar karena faktor Jawa, namun empat belas abad lalu
Allah telah memerintahkan Nabi Saw untuk berlaku lembut kepada
masyarakat dan menjauhi kekasaran sikap.
Kesukaan dan kebiasaan
masyarakat Jawa dalam bersikap halus ini sebenarnya sudah bisa dibaca
sejak dari tata bahasa yang mereka miliki. Ada strata bahasa yang
masing-masing memiliki kedalaman rasa bahasa yang berbeda, memiliki
kehalusan bahasa yang berbeda. Ada bahasa Jawa Krama Inggil, Krama
Madya, dan ada bahasa Jawa Ngoko. Untuk berinteraksi dengan kalangan
para sesepuh dan orang-orang yang dihormati atau dituakan, kita gunakan
bahasa Jawa Krama Inggil.
Untuk berinteraksi dengan orang-orang
yang lebih tua dan kalangan yang dihormati namun bukan sesepuh, kita
gunakan bahasa Jawa Krama Madya. Sedangkan untuk mengobrol dengan teman
seusia, atau orang-orang yang sepadan tingkat sosialnya dengan kita,
maka boleh digunakan bahasa Ngoko. Kesalahan penggunaan kosa kata, sudah
bisa menimbulkan rasa bahasa yang berbeda.
3. Hendaknya menjauhi sikap keras dan kasar dalam berinteraksi dengan masyarakat
Masyarakat
Jawa akan bersikap sangat kasar dan keras, apabila mendapatkan
perlakuan yang kasar dan keras pula. Dalam konteks dakwah, hal ini
menjadi tidak produktif, karena justru memperbanyak permusuhan bagi
dakwah. Semestinya para aktivis menjauhi sikap keras, kasar dan arogan
dalam pendekatan dakwah kepada kalangan masyarakat Jawa, karena hal itu
berpotensi menimbulkan penolakan.
Sebagus apapun ajakan dakwah,
apabila dibawakan dengan cara keras, kasar dan arogan, bisa mendapatkan
pertentangan dari masyarakat. Untuk itu, hendaknya para aktivis lebih
mampu menjaga diri dalam sikap, kata-kata dan perbuatan, agar dalam
pendekatan dakwah ke kalangan masyarakat Jawa tidak melukai dan
menyakiti mereka.
Ungkapan ayat di atas semakin memperkuat pentingnya menjauhi sikap kasar ini.
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Sangat disayangkan jika masyarakat menghindar dari dakwah hanya disebabkan karena kekasaran sikap pelaku dakwahnya.
Sumber: Al Hikmah online
No comments:
Post a Comment